Unik, Ritual Manten Kucing untuk Memanggil Hujan
Ada tradisi unik di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat, Kabupaten
Tulungagung. Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang
bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni “Man-ten Kucing.”
Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah
persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ritual yang
dipercaya bisa menurunkan hujan yakni “Manten Kucing”. Tetapi
jangan membayangkan jika ritual ini adalah ritual perkawinan kucing.
Ritual yang dipercaya ada sejak masa pemerintahan Belanda ini, hanya
memandikan dua ekor kucing berlainan jenis di sendang atau coban,
tidak jauh dari desa bernama Coban Kram.
Lantas mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih dalam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pengantin menusia.
“Karena itulah ritual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.
Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki berkumis tebal ini, ritual asli Tulungagung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Belanda oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim kemarau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual kepercayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa memohon pada sang pencipta.
Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sendang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.
Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turunnya hujan tak bisa menyembunyikan rasa riangnya.
“Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus menceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nugroho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor kucing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
“Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.
Mulai Dipercaya
Sejak saat itu, jika musim kemarau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta kepala desa menggelar ritual tersebut. Seiring perkembangan budaya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran.
Jika dulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejumlah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian layaknya orang mau menikah. Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa ku*cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.
Untuk menambah kemeriahan ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan, setelah itu baru rombongan dari para sesepuh desa, dimana mereka juga terdiri dari Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek), yang juga memakai pakaian adat. Kemudian rombongan tersebut, berjalan menuju sendang.
Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat.
Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan segera mengirimkan hujan agar tidak terjadi kekeringan. Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Diharapkan dengan tiban tersebut, hujan akan segera turun.
“Kelengkapan upacara adalah kebutuhan, dan daya tarik tersendiri a-palagi ritual ini telah dimasukkan sebagai ikon kebudayaan Kabupaten Tulungagung,” tuturnya.
Yang mengherankan meski pada uparara ritual sekarang ini tidak menggunakan kucing Condromowo melainkan kucing kampung biasa, namun selesai ritual hujan tetap turun.
“Sekarang ini kucing Condromowo sudah tidak ada, karena itulah kami memakai kucing kampung, tetapi toh hujan tetap turun juga,” ungkapnya.
Seperti saat menggelar upacara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 2005 lalu, kala itu Nugroho Agus menggunakan kucing jenis angora. Hasilnya taman mini diguyur hujan lebat. “Aneh memang, meski digelar tidak di Tulungagung dan kucingnya buka lokal, hujan tetap turun,” kata Kepala desa yang menjabat sejak 2007 ini bangga.
Lantas mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih dalam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pengantin menusia.
“Karena itulah ritual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.
Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki berkumis tebal ini, ritual asli Tulungagung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Belanda oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim kemarau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual kepercayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa memohon pada sang pencipta.
Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sendang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.
Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turunnya hujan tak bisa menyembunyikan rasa riangnya.
“Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus menceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nugroho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor kucing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
“Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.
Mulai Dipercaya
Sejak saat itu, jika musim kemarau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta kepala desa menggelar ritual tersebut. Seiring perkembangan budaya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran.
Jika dulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejumlah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian layaknya orang mau menikah. Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa ku*cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.
Untuk menambah kemeriahan ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan, setelah itu baru rombongan dari para sesepuh desa, dimana mereka juga terdiri dari Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek), yang juga memakai pakaian adat. Kemudian rombongan tersebut, berjalan menuju sendang.
Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat.
Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan segera mengirimkan hujan agar tidak terjadi kekeringan. Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Diharapkan dengan tiban tersebut, hujan akan segera turun.
“Kelengkapan upacara adalah kebutuhan, dan daya tarik tersendiri a-palagi ritual ini telah dimasukkan sebagai ikon kebudayaan Kabupaten Tulungagung,” tuturnya.
Yang mengherankan meski pada uparara ritual sekarang ini tidak menggunakan kucing Condromowo melainkan kucing kampung biasa, namun selesai ritual hujan tetap turun.
“Sekarang ini kucing Condromowo sudah tidak ada, karena itulah kami memakai kucing kampung, tetapi toh hujan tetap turun juga,” ungkapnya.
Seperti saat menggelar upacara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 2005 lalu, kala itu Nugroho Agus menggunakan kucing jenis angora. Hasilnya taman mini diguyur hujan lebat. “Aneh memang, meski digelar tidak di Tulungagung dan kucingnya buka lokal, hujan tetap turun,” kata Kepala desa yang menjabat sejak 2007 ini bangga.
Diperebutkan
Yang membuat unik bukan hanya hujan langsung turun. Tetapi setelah upacara memandikan kucing selesai, warga desa akan langsung berebut air bekas memandikan kucing itu. Mereka percaya dengan membasuh muka dengan air, mereka akan mendapat berkah. Bahkan ada juga yang bertiarap bisa awet muda.
“Memang tidak masuk akal jika air bisa mendatangkan berkah, tetapi warga desa di sini sangat percaya akan hal itu,” kata Nugroho.
Selain air, kucing yang dipakai untuk ritual juga akan diperebutkan untuk dijadikan hewan peliharaan, dengan harapan akan mendatangkan rejeki bagi sang pemilik. “Semua warga pasti ingin memiliki kicing yang telah dipakai untuk ritual. Selain dipercaya dapat mendatangkan rejeki, secara kualitas baik kesehatan dan fisik, kucing ini pilihan, jadi sang pemilik tidak akan kesulitan merawatnya,” ujarrnya.
la berharap, ritual “Manten Kucing” bukan hanya menjadi ke banggaan kabupaten yang terletak pada ketinggian 85 m di atas permukaan laut tersebut, tetapi juga Jawa Timur secara umum. “Ini sangat unik dan baru Tunga-ngung yang punya. Jika dijadikan ikon Jatim saya rasa “Manten Kucing” sangat layak,” harapnya.
Mulai Ditinggalkan
Sayangnya, perhelatan ritual “Manten Kucing” kini tak sesakral tahun-tahun silam. Perhelatan ritual itu saat ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan bagian dari prosesi yang kini justru dihilangkan.
Beberapa tahun lalu, suasana sakral masih mewarnai prosesi ritual unik ini. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa.
“Uyek-uyek ranti,
ono bebek pinggir kali,
nuthuli pari sak uli,
Tithit tfiuiiit.. Kembang opo?
Kembang-kembang menur,
ditandur neng pinggir sumur,
yen awan manjing sak dulur,
yen bengi dadi sak kasur.”
Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua. Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasangan pengantin kucing.
Pada pagelaran ritual manten kucing yang terakhir yakni tahun 2007, prosesi dihelat dengan pembacaan doa yang diikuti sejumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual “Manten Kucing” cenderung simpel dan instan.
Toh demikian, ritual “Manten Kucing” tetap saja berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat sebagai wahana untuk memohon turunnya hujan. “Awalnya, tradisi ini, memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon turunnya hujan,” kata Kepala Desa yang juga tokoh sentral penyelenggara ritual ini.
Sumber: jawatimuran.wordpress.com
Yang membuat unik bukan hanya hujan langsung turun. Tetapi setelah upacara memandikan kucing selesai, warga desa akan langsung berebut air bekas memandikan kucing itu. Mereka percaya dengan membasuh muka dengan air, mereka akan mendapat berkah. Bahkan ada juga yang bertiarap bisa awet muda.
“Memang tidak masuk akal jika air bisa mendatangkan berkah, tetapi warga desa di sini sangat percaya akan hal itu,” kata Nugroho.
Selain air, kucing yang dipakai untuk ritual juga akan diperebutkan untuk dijadikan hewan peliharaan, dengan harapan akan mendatangkan rejeki bagi sang pemilik. “Semua warga pasti ingin memiliki kicing yang telah dipakai untuk ritual. Selain dipercaya dapat mendatangkan rejeki, secara kualitas baik kesehatan dan fisik, kucing ini pilihan, jadi sang pemilik tidak akan kesulitan merawatnya,” ujarrnya.
la berharap, ritual “Manten Kucing” bukan hanya menjadi ke banggaan kabupaten yang terletak pada ketinggian 85 m di atas permukaan laut tersebut, tetapi juga Jawa Timur secara umum. “Ini sangat unik dan baru Tunga-ngung yang punya. Jika dijadikan ikon Jatim saya rasa “Manten Kucing” sangat layak,” harapnya.
Mulai Ditinggalkan
Sayangnya, perhelatan ritual “Manten Kucing” kini tak sesakral tahun-tahun silam. Perhelatan ritual itu saat ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan bagian dari prosesi yang kini justru dihilangkan.
Beberapa tahun lalu, suasana sakral masih mewarnai prosesi ritual unik ini. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa.
“Uyek-uyek ranti,
ono bebek pinggir kali,
nuthuli pari sak uli,
Tithit tfiuiiit.. Kembang opo?
Kembang-kembang menur,
ditandur neng pinggir sumur,
yen awan manjing sak dulur,
yen bengi dadi sak kasur.”
Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua. Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasangan pengantin kucing.
Pada pagelaran ritual manten kucing yang terakhir yakni tahun 2007, prosesi dihelat dengan pembacaan doa yang diikuti sejumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual “Manten Kucing” cenderung simpel dan instan.
Toh demikian, ritual “Manten Kucing” tetap saja berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat sebagai wahana untuk memohon turunnya hujan. “Awalnya, tradisi ini, memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon turunnya hujan,” kata Kepala Desa yang juga tokoh sentral penyelenggara ritual ini.
Sumber: jawatimuran.wordpress.com
Posting Komentar untuk "Unik, Ritual Manten Kucing untuk Memanggil Hujan"
Terimakasih sudah mengunjungi blog Rizki Mega Saputra. Semoga bisa menambah wawasan Anda..