MAKNA DI BALIK KEBIASAAN PAMER MAKANAN DI MEDIA SOSIAL DIPANDANG DARI SOSIOLOGI
Kini bukan lagi menjadi sorotan yang aneh, ketika hidangan yang dipesan
atau dibeli di sebuah restoran, diabadikan terlebih dahulu sebelum
disantap.
Ya, makanan tersebut kemudian disebarluaskan melalui media sosial. Jika dilihat dari kacamata sosiolog, hal tersebut dianggap sebagai luapan ekspresi. Dalam artian lain, seseorang yang memamerkan hidangannya lewat media sosial, butuh pengakuan.
"Dalam hal ini yang menjadi poin utama adalah eksistensi. Pada dasarnya mereka hanya ingin menciptakan sekaligus memberi kesan pada orang lain seperti yang diinginkan," kata Sosiolog, Daisy Indira Yasmine, saat ditemui di Cilandak Town Square, Jakarta.
Perkembangan teknologi termasuk media sosial memang semakin menjamur. Hal ini, tentu menciptakan ruang tersendiri bagi banyak orang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Terkait soal pamer makanan di media sosial, perkara apakah orang yang mengunggah gambar makanan tersebut memang benar mengkonsumsi hidangan tersebut atau tidak, bukan hal yang penting. Bagi mereka, yang diinginkan hanya sebatas agar orang lain menilai identitasnya.
"Dengan kata lain, ini adalah salah satu kebutuhan. Bukan hanya sekedar materi, namun untuk diakui (identitasnya) oleh orang lain. Tapi bentuk dan ruang pengakuannya berbeda," kata Daisy.
Kehilangan Identitas Diri
Sebelumnya, kebiasaan pamer makanan di media sosial, juga dinilai oleh Dr. Valerie Taylor, psikiater dari Women College Hospital, University of Toronto, Kanada sebagai kebiasaan yang dapat berpotensi pada gangguan psikologis.
Diakaui kembali oleh Daisy, hal tersebut memang dapat saja terjadi. Awalnya memang agar orang lain memberi kesan. Saat orang lain memberikan respon positif, seseorang akan ketagihan atau ada rasa ketergantungan pada media sosial.
"Kalau kadarnya (ketagihan) sudah tinggi, tak mampu dikontrol, dampaknya orang tersebut tak dapat mengenal identitasnya. Ini karena ia telah terpuaskan, perasaan telah terluapkan," kata Daisy.
Dengan demikian, seseorang lebih suka melancarkan aksi di dunia maya. Ini lantaran tak ada tekanan sosial atau penindasan langsung.
Ya, makanan tersebut kemudian disebarluaskan melalui media sosial. Jika dilihat dari kacamata sosiolog, hal tersebut dianggap sebagai luapan ekspresi. Dalam artian lain, seseorang yang memamerkan hidangannya lewat media sosial, butuh pengakuan.
"Dalam hal ini yang menjadi poin utama adalah eksistensi. Pada dasarnya mereka hanya ingin menciptakan sekaligus memberi kesan pada orang lain seperti yang diinginkan," kata Sosiolog, Daisy Indira Yasmine, saat ditemui di Cilandak Town Square, Jakarta.
Perkembangan teknologi termasuk media sosial memang semakin menjamur. Hal ini, tentu menciptakan ruang tersendiri bagi banyak orang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Terkait soal pamer makanan di media sosial, perkara apakah orang yang mengunggah gambar makanan tersebut memang benar mengkonsumsi hidangan tersebut atau tidak, bukan hal yang penting. Bagi mereka, yang diinginkan hanya sebatas agar orang lain menilai identitasnya.
"Dengan kata lain, ini adalah salah satu kebutuhan. Bukan hanya sekedar materi, namun untuk diakui (identitasnya) oleh orang lain. Tapi bentuk dan ruang pengakuannya berbeda," kata Daisy.
Kehilangan Identitas Diri
Sebelumnya, kebiasaan pamer makanan di media sosial, juga dinilai oleh Dr. Valerie Taylor, psikiater dari Women College Hospital, University of Toronto, Kanada sebagai kebiasaan yang dapat berpotensi pada gangguan psikologis.
Diakaui kembali oleh Daisy, hal tersebut memang dapat saja terjadi. Awalnya memang agar orang lain memberi kesan. Saat orang lain memberikan respon positif, seseorang akan ketagihan atau ada rasa ketergantungan pada media sosial.
"Kalau kadarnya (ketagihan) sudah tinggi, tak mampu dikontrol, dampaknya orang tersebut tak dapat mengenal identitasnya. Ini karena ia telah terpuaskan, perasaan telah terluapkan," kata Daisy.
Dengan demikian, seseorang lebih suka melancarkan aksi di dunia maya. Ini lantaran tak ada tekanan sosial atau penindasan langsung.
(viva/11/5/2013)
Posting Komentar untuk "MAKNA DI BALIK KEBIASAAN PAMER MAKANAN DI MEDIA SOSIAL DIPANDANG DARI SOSIOLOGI"
Terimakasih sudah mengunjungi blog Rizki Mega Saputra. Semoga bisa menambah wawasan Anda..