SUKU DAYAK HINDU BUDHA BUMI SEGANDU INDRAMAYU
Suku
Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu (SDHBBSI) adalah sekelompok komunitas
lokal yang mempercayai suatu ajaran bersama dan menetap di Desa Krimun,
Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Anggota kelompok
kepercayaan ini diklaim berjumlah ribuan yang anggotanya berasal dari berbagai
macam daerah, seperti Subang, Cirebon, hingga Jawa Timur. Ketika mendengar kata
“Dayak” tersemat dalam nama mereka, publik pasti akan langsung
mengasosiasikannya dengan Suku Dayak yang berasal dari Kalimantan. Namun
demikian, SDHBBSI sama sekali tidak berhubungan dengan Suku Dayak di
Kalimantan. Mereka murni terbentuk sebagai kelompok berbasis kepercayaan
terhadap keyakinan atau “agama” tertentu dimana “agama” tersebut tidak termasuk
dalam enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong
Hu Cu.
Kelompok
masyarakat ini secara formal tidak memiliki identitas legal seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Mereka tidak memiliki salah satu agama sebagaimana agama yang
diakui oleh negara. Namun demikian, hal itu bukan berarti mereka menentang
negara dan pemerintah. Mereka masih merasa menjadi bagian dari Negara
Indonesia. Hanya saja, mereka memiliki perspektif lain dalam memandang cara
hidup. Bagi kelompok ini, KTP atau tanda pengenal lain adalah sesuatu yang
menyusahkan. Mereka berkeyakinan bahwa diri mereka yang mereka bawa kemana-mana
itulah tanda pengenal yang sesungguhnya
Asal
Usul
Kelompok
masyarakat ini telah menunjukan eksistensinya sejak akhir tahun 90-an kepada
masyarakat luas. Mereka membangun komunitas dengan berpegang teguh pada
spiritualitas sebagai dasar pembentukan ajarannya. Tidak jarang pula mereka menyebut kepercayaannya sebagai agama
Jawa. Melalui kepercayaan ini, mereka melakukan penggalian kembali kepercayaan
dan nilai-nilai spiritualitas masyarakat Jawa masa lalu, terutama pada masa
prapatrimonial[2]. Mereka berpikir bahwa agama-agama besar yang ada saat ini,
termasuk agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, telah terkontaminasi
kepentingan-kepentingan individu yang sarat dengan keserakahan. Hal inilah yang
menyebabkan kelompok kepercayaan ini menggali kembali nilai-nilai budaya
masyarakat Jawa dan membangun ulang nilai-nilai komunal.
Suku
Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tidak memiliki kaitan dengan Suku
Dayak asli Kalimantan. Penamaan komunitas mereka yang panjang pun bukan tanpa
alasan. Kata “Suku” diartikan sebagai kaki yang membantu manusia untuk berjalan
ke tujuannya masing-masing sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya sendiri;
“Dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak” yang berarti menyaring atau
memilah. Maksud dari kata tersebut adalah manusia harus bisa memilih dan
memilah mana yang baik dan mana yang benar. Sementara itu, “Hindu” memiliki
arti bahwa setiap manusia dilahirkan dari rahim seorang ibu (perempuan); kata
“Budha” berasal dari kata “wuda” yang berarti telanjang. Seluruh manusia
menurut kepercayaan mereka diartikan sebagai makhluk yang terlahir telanjang.
Adapun kata “Indramayu”, mengandung pengertian “In” berarti ‘inti’; “Darma”
artinya orang tua, dan “Ayu” bermakna perempuan. Makna filosofisnya adalah
bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnya lah semua manusia
dilahirkan. Itulah sebabnya, menghormati kaum perempuan sangat dijunjung tinggi
oleh komunitas kepercayaan ini. Hal itu tercermin dalam berbagai aktivitas
keseharian mereka
Kelompok
tersebut dianalogikan sebagai sekumpulan manusia terpilih karena tidak semua
orang dapat menjalankan peraturan seperti yang telah disyaratkan oleh komunitas
tersebut. Selain itu, makna “Hindu Budha” dalam pemahaman komunitas ini
diartikan sebagai jiwa dan raga. Mereka yang tergabung diandaikan sebagai
manusia yang baru saja dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan telanjang. Mereka
yang telah menjadi Bodhisatvva sebagai wujud menyatunya diri mereka dengan
makrokosmos, akan menanggalkan pakaian ala kehidupan era modern yang marak
terjadi saat ini.[5] Anggota kelompok komunitas ini akan telanjang dengan hanya
mengenakan celana pendek berwarna hitam-putih. Warna tersebut merupakan simbol
dari kehidupan yang saling berpasangan. Selain itu, mereka juga akan mengenakan
aksesoris terbuat dari kayu dan bambu sebagai bentuk kedekatan mereka dengan
alam. Kemana pun anggota kelompok komunitas ini pergi, mereka akan selalu
mengenakan pakaian dan aksesoris tersbut. Cara berpakaian yang demikian
kemudian masyarakat “modern” sering memandang mereka sebagai kelompok orang
gila.
Pendirian
komunitas itu sendiri bebas dari campur tangan pemerintah. Adalah seorang
Ta'mad yang memulai pembentukan komunitas ini dengan mendirikan sebuah
padepokan yang bernama Padepokan Nyi Ratu Kembar di Desa Karimun, Kecamatan
Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tanah tempat dibangunnya padepokan
tersebut sendiri adalah warisan dari mertua Ta'mad. Sejak perenungannya
berhasil melahirkan sebuah 'aliran kepercayaan' baru, pengikutnya menjadi
semakin banyak dan terbentuknya kelompok masyarakat Dayak Hindu Budha Bumi
Segandu Indramayu.
Nilai
dan Ajaran[sunting | sunting sumber]
Nilai
dan ajaran pada Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu terbentuk pada
tahun 1970-an dan diajarkan oleh Ta’mad atau Eran Takmad Diningrat Gusti Alam.
Ta’mad adalah pendiri komunitas kepercayaan ini karena adanya kejenuhan yang
dia alami terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Ta’mad banyak melakukan
refleksi dan introspeksi diri terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di
sekitarnya. Lalu, ia meyakini bahwa kembali ke alam (back to nature) adalah
ajaran terbaik bagi manusia. Mendekatkan diri kepada alam dipercaya sebagai
inti dari kehidupan manusia
Wujud
dari ajaran kembali ke alam tersebut tercermin dalam nilai-niali yang mereka
junjung sehari-hari. Mereka sangat mengagungkan nilai-nilai alamiah seperti
menghargai perempuandan anak-anak. Bagi mereka, kaum perempuan memiliki
martabat dan derajat yang amat tinggi, karena dari mereka lah lahir
individu-inidividu baru. Hal itu tentu tidak bisa dilakukan oleh kaum pria,
dimana pun dan oleh siapa pun. Begitu juga dengan anak-anak, mereka selalu
menganggap benar segala perkataan dan perbuatan anak-anak yang terlihat lugu.
Para lelaki kelompok kepercayaan ini berpijak untuk mengabdi pada perempuan,
termasuk ibu, istri, dan anak perempuan mereka. Tidak heran jika kemudian
banyak di antara mereka yang mencari nafkah di luar rumah sekaligus mengurus
rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan pekerjaan rumah tangga
lainnya
RitualKelompok
Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu melakukan ritual bernama
“kum-kum” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rendaman. Ritual ini
mereka lakukan untuk melatih kesabaran. Kum-kum sendiri mereka lakukan selama
empat bulan dalam satu tahun tepatnya setiap pukul 23.00. Sebelum kum-kum,
mereka biasanya melakukan kidung terlebih dahulu. Setelahnya, mereka akan
berjalan ke sungai kecil di dekat perkampungan mereka untuk merendam diri
hingga pagi hari tiba. Selama berendam, mereka tidak diperbolehkan memakai
pakaian atas. Selain itu, mereka harus mampu menahan dinginnya udara malam dan
air sungai berikut gigitan ikan kecil-kecil yang hidup di sungai. Hal itu
memang tidak mudah untuk dilakukan; perlu pembiasaan mengingat tujuan utama
dari ritual ini adalah untuk melatih kesabaran
Setelah
ritual kum-kum selesai, mereka tidak lantas pulang ke rumah pada pagi harinya.
Mereka harus melakukan ritual lanjutan berupa mepe atau berjemur. Mereka akan
berjemur pada pagi hari hingga celana mereka kembali kering. Tujuan dari ritual
ini adalah untuk mendekatkan manusia dengan alam tanah. Setelah menyelesaikan
rangkaian ritual tersebut, mereka akan merasa menjadi orang baru kembali.
Selanjutnya, sisa waktu delapan bulan ke depan bisa mereka pergunakan untuk mencari
nafkah demi mencukupi kebutuhan hidup anak dan istrinya. Apabila nafkah mereka
berlebih, mereka akan memberikannya pada komunitas yang membutuhkan. Setelah
itu, empat bulan selanjutnya akan mereka manfaatkan untuk ritual dan
mendekatkan diri dengan alam. Siklus ritual tersebut telah mereka kerjakan
secara teratur selama bertahun-tahun
Ritual
lain yang dilakukan oleh kelompok aliran kepercayaan ini juga banyak
mengikutsertakan kelompok perempuan. Bertempat di Pendopo Nyi Ratu Kembar,
setiap malam Jumat kliwon mereka berkumpul bersama. Beberapa laki-laki
bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam putih. Mereka duduk
mengelilingi kolam kecil di dalam pendopo. Sementara kaum perempuan, duduk
berselonjor di luar pendopo. Mula-mula, mereka akan melantunkan Kidung Alas
Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Bacaan tersebut dilanutnkan dalam
bahasa Jawa Cirebon dan dikarang langsung oleh pendiri komunitas ini, yaitu
Takmad Diningrat
sumber : wikipedia
Posting Komentar untuk "SUKU DAYAK HINDU BUDHA BUMI SEGANDU INDRAMAYU"
Terimakasih sudah mengunjungi blog Rizki Mega Saputra. Semoga bisa menambah wawasan Anda..